Menanggapi dari status sahabat saya di Forum Diskusi Dunia Maya (FDDM) yakni mengenai Nama Allah berasal dari bahasa Ibrani, yang sebenarnya hanyalah ilusi dan manipulasi para orientalis.saya akan coba paparkan sebagai berikut. salam berfikir
Terimakasih, sebelumnya saya kurang yakin dengan pembahasan ini, sebab saya rasa yang membahas ini sudah lebih mengerti akan kebenaran yang ada. namun setidaknya saya juga harus bisa memaparkan apa yang saya ketahui dari berbagai sumber: cek it.
Konsep penemuan kata tuhan, mungkin memang sedari zaman orientalis (pemikir non islam) sudah ada dalam pandangannya, baik itu secara historys maupun etimologis. sebab mengingat akan kebencian mereka terhadap seorang Muslim (agama islam), sangatlah mungkin bagi mereka untuk memanipulasi keyakinan dan kebenaran Islam.
Akan tetapi perelasian antara kata El menjadi Al dan menjadi dasar adanya nama Allah, itu bukanlah penemuan yang pasti kebenarannya. sebab di pandang dari sisi skala penemuan kata El itu pada tahun 1567, dengan ditemukannya manuskrip arab yang ditemukan pada thun 253 H/ 867 M (The history the Qur'anic text, jakarta 2005), itu sangat mustahil untuk kita yakini kebenarannya karena ke senjangan waktu yang amat jauh. setidaknya jika pemakaian kata Al itu berasal dari bahasa ibrani yakni El, maka tidak mungkin lebih dahulu ditemukan manuskrip yang berisi tatanan suku bahasa arab. selain itu, sejarah ahli arkeologi mencatat bahwa 40.000 tahun yang silam bahasa arab memang sudah ada dan menjadi bahsa interaksi nenek moyang (para Nabi). bukti yang serupa, bahwa perpecahan bahasa berawal dari perpecahan kaum Nuh yang terbagi menjadi beberapa varian kaum. termasuk beberapa kaum yang membangkan dari ajaran Allah,,, yakni kaum Add dan Stamud, yang keduanya dilenyapkan oleh Allah dari muka bumi. sedangkan bahasa yang bermacam2 yang kita ketahui saat ini radikalnya hanyalah hasil pengembangan sesuai perkembangan peradaban oleh pelbagai kaum yang terpecah tadi. berkaitan dengan bahsa ini, sesuai dengan sabda nabi bahwa "Cintailah bahasa Arab karena tiga hal, yakni karena aku adalah orang Arab, karena Alqur'an dengan bahasa Arab, dan penghuni surga adalah berbahsa Arab". selain hadits nabi diatas, dalam kitab mufassol tarikh arab lil imam jawwad 'ali. menyatakan bahwa nabi adam pertama kali menerima bahasa dari surga adalah bahasa Arab. akan tetapi setelah lamanya masa peradaban, orag2 sudah mulai merubahnya dan menghilangkannya, tinggallah yang ada BAHASA SURIYAN (sriya) ( bhs jaman bahola ). sebenarnya bhs suriyan hampir menyerupai bhs arab, hanya saja dalam segi lisannya, tetapi lughotnya telah banyak yg dirubah dikarenakan zaman yg berlalu. jadi orang sesudahnya, menemuinya dalam bahasa suriyan dan semakin banyaknya sanak dan kerabat menyebabkan seolah2 bhs suriyan ( bhs injil dahulu yg pendeta skrg aja puyeng membacanya ) adalah bhs pertama, begitu juga anggapan para oriental .
sehingga, hipotesa yang ada dan dapat kita ambil, bahwa sejak dari nabi adam di surga hingga ia menempati bumi maka jelas bahwa bahsa arab adalah bahasa yang ia gunakan. dan karena kata Al-illah berasal dari bahsa arab, maka sangat tidak pantas para kaum oriental mengatakan bahwa terbentuknya nama Allah berasal dari bahsa ibrani, yang sebenarnya bahsa itu juga merupakan perpecahan dari kaum Nuh tersebut di atas.
Rabu, 29 April 2015
Kamis, 09 April 2015
MENGEJA SAJAKMU
sepertiga malam itu
dimalam yang lalu
sebisik terdengar, kecil, halus sajakmu
koma, titik, dan nada-nada itu
sangat jelas merayu
tindihkan puing-puing kekosongan
dalam malamku
sajakmu ku eja tak menentu
dimalam yang lalu
sebisik terdengar, kecil, halus sajakmu
koma, titik, dan nada-nada itu
sangat jelas merayu
tindihkan puing-puing kekosongan
dalam malamku
sajakmu ku eja tak menentu
Duhai para musyafir sastra
kalau saja malam itu
engkau hadir memadu sastra
habislah bait-bait keraguan
tanpa pengejaan
maka lenyaplah kebodohanku
lagi-lagi, sajakmu ku eja tak menentu
kalau saja malam itu
engkau hadir memadu sastra
habislah bait-bait keraguan
tanpa pengejaan
maka lenyaplah kebodohanku
lagi-lagi, sajakmu ku eja tak menentu
ia,,, benar, dimalam yang lalu
aku tak mampu
maha karya penopang ragu
keluasan makna aksaramu
dan bait-bait berterakan realitas
tenggalam menyelami sastramu
namun apalah daya,
walau berkali-kali kucoba
sayang, sajakmu ku eja tak menentu
aku tak mampu
maha karya penopang ragu
keluasan makna aksaramu
dan bait-bait berterakan realitas
tenggalam menyelami sastramu
namun apalah daya,
walau berkali-kali kucoba
sayang, sajakmu ku eja tak menentu
Sabtu, 04 April 2015
makalah ushul fiqh
MAKALAH
U S H U L F I Q H
SUMBER HUKUM USHUL FIQH
“AL-HADITS”
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji syukur
kepada Allah Sang Pencipta atas segala limpahan rahamat dan hidayahnya.
Sehingga segala sesuatu yang kami hadapi dapat terselesaikan dengan baik dan
benar, seperti halnya penyelesaian makalah ini.
Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Pemimpin
umat Islam, pembawa dimensi kehidupan Jahiliyah kepada dimensi yang penuh oleh
ridha Allah, Diinul Islam, yakni kehidupan yang terbaik dibanding dengan
zaman-zaman sebelumnya.
Makalah ini
disusun berdasarkan tujuan untuk mengetahui Al-Hadits sebagai sumber hukum yang
kedua. Serta untuk memenuhi tugas dari Dosen pengampu ilmu Ushul Fiqh. Dengan
demikian dalam makalah ini diharapkan lebih membuka wawasan berfikir dibidang
terkait dengannya.
Tentunya
keterbatasan kemampuan sangat kami sadari dalam penulisan makalah ini.
Kesempurnaan hanya milik Allah dan memperbaiki keterbatasan dan kekeliruan
adalah keharusan bagi setiap manusia. Oleh karena itu, kritik dan saran
konstruktif sangat dinantikan demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga bisa
menjadi acuan berfikir dalam pembuatan makalah selanjutnya. Dan semoga Allah
akan tetap menjaga dan membimbing kita semua di jalan kebenaran menuju
Syurganya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I:
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
BAB II:
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits
B.
Bentuk-bentuk Hadits
C.
Kedudukan
Hadits dalam Islam
D.
Fungsi Hadits
terhadap Al-Qur’an
BAB III:
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ushul
fiqh merupakan ilmu tentang kaedah-kaedah hukum yang dipergunakan untuk
menetapkan sebuah hukum. Dalam konteks nyata, ushul fiqh seringkali digunakan
untuk mencari asal atau dasar dari sebuah hukum. Karena salah satu peran dari
ushul fiqh adalah untuk menetapkan sebuah hukum yang berlandaskan NAS (al-quran
dan al-hadits). Di antara beberapa sumber yang menjadi acuan dalam menetapkan
dasar hukum ilmu ushul fiqh adalah :
1. Al-quran 2. Al-hadits 3. Ijma’ 4.
Qiyas 5. Al-istishab
6. Al-maslahah mursalah 7.
al-istihsan 8. al-‘uruf atau
al-faratan.
Diantara 8 sumber hukum tersebut, selain (al-qur’an) yang menjadi
patokan pertama untuk menetapkan sebuah hukum,
al-hadits juga berperan sebagai sumber kedua setelah al-qur’an, dengan
maksud untuk memperjelas hukum dasar yang terdapat dari al-qur’an yang masih
kurang jelas dan kurang terperinci dalam menetapkan hukum. Sehingga tidak lepas
dari itu, ilmu hadits juga menjadi sangat penting untuk dipelajari. Sebab untuk
memahami seluruh isi Al-Qur’an tentu juga harus memahami hadits sebagai sumber
hukum kedua dalam Islam.
B.
Rumusan Masalah
a.
Pengertian
Hadits
b.
Bentuk-bentuk
Hadits
c.
Kedudukan
Hadits dalam Islam
d.
Fungsi
Hadits terhadap Al-qur’an
C.
Tujuan Makalah
a.
Mengetahui
Pengertian Hadits
b.
Mengetahui
macam–macam Hadits
c.
Mengetahui
Kedudukan Hadits dalam Islam
d.
Mengetahui
Fungsi Hadits terhadap Al-qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits
Menurut Ibnu Manzhur, kata hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits,
jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara
etimologis hadits memiliki beberapa arti kata, yaitu:
1.
Baru
(jadid), lawan dari terdahulu (qadim).
2.
Dekat
(qarib), lawan dari jauh (ba’id).
3.
Warta
berita (khabar); sesuatu yang dipercakaakpan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lainnya.[1]
Sedangkan secara terminologis, para ulama, baik muhadditsin,
fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda
sesuai dengan kesepakatan dari kalangan-kalangan tersebut, akan tetapi dari
perbedaan itu pada esensinya adalah sama. Diantara beberapa pengertiannya
adalah sebagai berikut:
1.
Ulama
hadits mendifinisikan hadits sebagai berikut:
Segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat maupun hal ikwal Nabi.
2.
Menurut
istilah ahli ushul fiqh, hadits adalah:
Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., selain Al-Qur’an Al-Karim, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan
hukum Syara’.
3.
Adapun
menurut istilah para fuqaha, hadits berarti:
Segala sesuatu
yang ditetapkan Nabi SAW. yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah
fardhu atau wajib.
Dari beberapa pengertian hadits yang dikemukakan oleh para ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa, hadits merupakan segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi SAW. selain kalamullah (Al-Qur’an), baik berupa
perkataan perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
B.
Bentuk-bentuk Hadits
Secara
garis besar disebutkan bahwa bentuk-bentuk hadits terbagi mejadi 5 bagian:
1.
Hadits
qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
SAW. dengam kata lain, hadits qauli adalah hadits berupa perkataan Nabi SAW.
yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah yang
berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.[2]
2.
Hadits
fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dalam hadits
tersebut terdapat berita tentang pebuatan Nabi SAW. yang menjadi anutan
perilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusn bagi semua umat Islam
untuk mengikutinya.[3]
3.
Hadits
taqriri adalah hadits berupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang atau
dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa meberikan penegasan,
apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demekian
itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat
dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian
syara’.[4]
4.
Hadits
hammi adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW. yang belum
terealisasikan, seperti hasrat puasa 9 asyura. “ketika Nabi SAW. berpuasa pada hari
Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka
berkata: ‘Ya Rarulullah , hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang
yahudi dan nasrani’. Nabi saw bersabda: ‘Tahun yang akan datang insya Allah aku
akan berpuasa pada hari kesembilan’.” ( HR. Abu Dawud)
Nabi SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini
karena wafat sebelum sampai bulan Asyura. Menurut Imam Syafi’i dan para
pengikutnya, bahwa menjalankan hadist hammi ini disunnahkan, sebagaimana
menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.[5]
5.
Hadits
ahwali adalah hadits yang berupa hal ikhwal Nabi SAW. yang tidak termasuk ke
dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Hadits yang termasuk kategori ini
adalah hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan
fisik Nabi SAW.[6]
C.
Kedudukan Hadits dalam Islam
Secara garis besar,
umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Ia menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti
hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama
halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis
merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya
siapapun tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai
hadis. Begitu pula halnya menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an
merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at.
Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk
mengimani dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan
sendiri.[7]
Al-Qur’an itu menjadi
sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah
Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf
Al-Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah
Al-Qur’an”[8]
Keberlakuan hadits
sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya
memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan
rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena
itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di
antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam
Islam adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ...
Sejak masa sahabat
sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan
juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah
berfirman QS. Al-Hasyr : 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا...
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”[10]
Dari ayat di atas dapat
disimpulkan bahwa manusia tidak cukup hanya berpanutan pada al-Qur’an dalam
mengamalkan ajaran agama Islam, akan tetapi juga wajib berpedoman kepada hadits
Rasulullah SAW.
D. Fungsi
Hadits terhadap Al-Qur’an
Sebagaimana fungsinya, bahwa Al-Qur’an merupakan dasar
syariat yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya terpaku
menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka
akan banyak sekali masalah yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan
kebingungan yang tak mungkin terpecahkan. Semisal pada kenyataan praktik
sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk mendirikan sholat, tanpa
ada penjelasan berapa kali solat dilaksanakan dalam sehari semalam, lebih-lebih
apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. ;orang yang hanya
berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana
praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus
dijauhi ketika melakukan sholat, dan lain-lain.
Maka, disinilah fungsi hadits, yang berperan penting
sebagai penafsir dan penjelas dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga
manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara utuh. Lebih spesifik lagi,
setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting hadits terhadap Al-Qur’an,
yaitu :
1. Berfungsi
menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an.
Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah
didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat
30 yang artinya “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya
menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian
sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau
meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.”
Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi:
”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”[11] dan
seterusnya (Riwayat Bukhari - Muslim).
2. Memberikan
perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan
Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah
mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam
Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan
sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara
melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara
terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash
Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah
Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan
seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan
keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan
sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun
dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua
macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang
tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan
itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi
seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak
boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari
bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya.”[12]
(H.R. Bukhari - Muslim).
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadist rasul merupakan sumber dan
dasar hukum islam setelah al-qur`an, dan umat islam di wajibkan mengikuti
sunnah sebagai mana di wajibkan mengikuti Al-qur`an dan hadis.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber
syariat islam yang tetap,orang islam tidak mungkin memahami syari`at islam
secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut yaitu
al-qur`an dan hadist.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Hadits
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik itu berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) beliau. Sehingga semua yang
menjadi sunnahnya menjadi sunnah juga bagi seluruh umatnya.
2.
Sama
halnya dengan penjelasan diatas bahwa, hadits dalam pembentukannya terbagi
menjadi 5 bagian, diantaranya: Hadits qauli, hadits fi’li, hadits taqriri,
hadits hammi, dan hadits ahwali. Yang kesemuanya tidak lepas dari tingkah dan
pola perilaku Nabi SAW.
3.
Sangat
jelas dipaparkan, bahwa kedudukan hadits sebagai sumber hukum yang kedua dalam
menetapkan permasalahan hukum sudah tidak bisa di otak-atik lagi, sebab
mengingat pentinganya fungsinya sehingga dikategorikan menjadi pedoman setelah Al-Quran.
4.
Selain
kedudukannya yang sangat penting dan tidak bisa di pisahkan dengan Al-Qur’an,
hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas dari hukum-hukum yang masih
bersifat global, sehinga tidak cukup memahami seluruh isi Al-Qur’an jika hanya
berpedoman kepada Al-Qur’ann saja dengan tanpa berpedoman juga kepada hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Mushaf Maryam.
2012. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Insan Media Pustaka.
Ranuwijaya, Utang.1996. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Saputra, Munzier. 1993. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Solahuddin, Agus Suyadi. 2013. Ulumul Hadits. Bandung:
Pustaka Setia.
Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadts. Bandung:
Pustaka Setia.
[1] Solahuddin,
Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm. 13.
[2] Solahuddin,
Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm. 21.
[3] Ibid.
[4] Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996) hlm. 15.
[5] Ibid.
Hlm. 18
[6] Ibid.
[8] Yusuf Qardhawi, Pengantar
Studi Hadts, (Bandung: Pustaka Setia,2007) hal:82.
[9] Mushaf Maryam, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Jakarta: Insan Media Pustaka, 2012). Hlm. 91
[10] Ibid.
Hlm. 549
Langganan:
Postingan (Atom)