Rabu, 29 April 2015

Menanggapi dari status sahabat saya di Forum Diskusi Dunia Maya (FDDM) yakni ​ mengenai Nama Allah berasal dari bahasa Ibrani, yang sebenarnya hanyalah ilusi dan manipulasi para orientalis.saya akan coba paparkan sebagai berikut. salam berfikir

Terimakasih, sebelumnya saya kurang yakin dengan pembahasan ini, sebab saya rasa yang membahas ini sudah lebih mengerti akan kebenaran yang ada. namun setidaknya saya juga harus bisa memaparkan apa yang saya ketahui dari berbagai sumber: cek it.

Konsep penemuan kata tuhan, mungkin memang sedari zaman orientalis (pemikir non islam) sudah ada dalam pandangannya, baik itu secara historys maupun etimologis. sebab mengingat akan kebencian mereka terhadap seorang Muslim (agama islam), sangatlah mungkin bagi mereka untuk memanipulasi keyakinan dan kebenaran Islam.
Akan tetapi perelasian antara kata  El menjadi Al dan menjadi dasar adanya nama Allah, itu bukanlah penemuan yang pasti kebenarannya. sebab di pandang dari sisi skala penemuan kata El itu pada tahun 1567, dengan ditemukannya manuskrip arab yang ditemukan pada thun 253 H/ 867 M (The history the Qur'anic text, jakarta 2005), itu sangat mustahil untuk kita yakini kebenarannya karena ke senjangan waktu yang amat jauh. setidaknya jika pemakaian kata Al itu berasal dari bahasa ibrani yakni El, maka tidak mungkin lebih dahulu ditemukan manuskrip yang berisi tatanan suku bahasa arab. selain itu, sejarah ahli arkeologi mencatat bahwa 40.000 tahun yang silam bahasa arab memang sudah ada dan menjadi bahsa interaksi nenek moyang (para Nabi). bukti yang serupa,  bahwa perpecahan bahasa berawal dari perpecahan kaum Nuh yang terbagi menjadi beberapa varian kaum. termasuk beberapa kaum yang membangkan dari ajaran Allah,,, yakni kaum Add dan Stamud, yang keduanya dilenyapkan oleh Allah dari muka bumi. sedangkan bahasa yang bermacam2 yang kita ketahui saat ini  radikalnya hanyalah hasil pengembangan sesuai perkembangan peradaban oleh pelbagai kaum yang terpecah tadi. berkaitan dengan bahsa ini, sesuai dengan sabda nabi bahwa "Cintailah bahasa Arab karena tiga hal, yakni karena aku adalah orang Arab, karena Alqur'an dengan bahasa Arab, dan penghuni surga adalah berbahsa Arab". selain hadits nabi diatas, dalam kitab mufassol tarikh arab lil imam jawwad 'ali. menyatakan bahwa nabi adam pertama kali menerima bahasa dari surga adalah bahasa Arab. akan tetapi setelah lamanya masa peradaban, orag2 sudah mulai merubahnya dan menghilangkannya, tinggallah yang ada BAHASA SURIYAN (sriya) ( bhs jaman bahola ). sebenarnya bhs suriyan hampir menyerupai bhs arab, hanya saja dalam segi lisannya, tetapi lughotnya telah banyak yg dirubah dikarenakan zaman yg berlalu. jadi orang sesudahnya, menemuinya dalam bahasa suriyan dan semakin banyaknya sanak dan kerabat menyebabkan seolah2 bhs suriyan ( bhs injil dahulu yg pendeta skrg aja puyeng membacanya ) adalah bhs pertama, begitu juga anggapan para oriental .
sehingga, hipotesa yang ada dan dapat kita ambil, bahwa sejak dari nabi adam di surga hingga ia menempati bumi maka jelas bahwa bahsa arab adalah bahasa yang ia gunakan. dan karena kata Al-illah berasal dari bahsa arab, maka sangat tidak pantas para kaum oriental mengatakan bahwa terbentuknya nama Allah berasal dari bahsa ibrani, yang sebenarnya bahsa itu juga merupakan perpecahan dari kaum Nuh tersebut di atas.

Kamis, 09 April 2015

MENGEJA SAJAKMU
sepertiga malam itu
dimalam yang lalu
sebisik terdengar, kecil, halus sajakmu
koma, titik, dan nada-nada itu
sangat jelas merayu
tindihkan puing-puing kekosongan
dalam malamku
sajakmu ku eja tak menentu
Duhai para musyafir sastra
kalau saja malam itu
engkau hadir memadu sastra
habislah bait-bait keraguan
tanpa pengejaan
maka lenyaplah kebodohanku
lagi-lagi, sajakmu ku eja tak menentu
ia,,, benar, dimalam yang lalu
aku tak mampu
maha karya penopang ragu
keluasan makna aksaramu
dan bait-bait berterakan realitas
tenggalam menyelami sastramu
namun apalah daya,
walau berkali-kali kucoba
sayang, sajakmu ku eja tak menentu

‪#‎Lailatul_Jumah‬
Sumenep, 10 April 2015
@Cak Upi & Sebatas Asa

Sabtu, 04 April 2015

makalah ushul fiqh

MAKALAH
U S H U L  F I Q H

SUMBER HUKUM USHUL FIQH
“AL-HADITS”



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kepada Allah Sang Pencipta atas segala limpahan rahamat dan hidayahnya. Sehingga segala sesuatu yang kami hadapi dapat terselesaikan dengan baik dan benar, seperti halnya penyelesaian makalah ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Pemimpin umat Islam, pembawa dimensi kehidupan Jahiliyah kepada dimensi yang penuh oleh ridha Allah, Diinul Islam, yakni kehidupan yang terbaik dibanding dengan zaman-zaman sebelumnya.
Makalah ini disusun berdasarkan tujuan untuk mengetahui Al-Hadits sebagai sumber hukum yang kedua. Serta untuk memenuhi tugas dari Dosen pengampu ilmu Ushul Fiqh. Dengan demikian dalam makalah ini diharapkan lebih membuka wawasan berfikir dibidang terkait dengannya.
Tentunya keterbatasan kemampuan sangat kami sadari dalam penulisan makalah ini. Kesempurnaan hanya milik Allah dan memperbaiki keterbatasan dan kekeliruan adalah keharusan bagi setiap manusia. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif sangat dinantikan demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga bisa menjadi acuan berfikir dalam pembuatan makalah selanjutnya. Dan semoga Allah akan tetap menjaga dan membimbing kita semua di jalan kebenaran menuju Syurganya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II: PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits
B.     Bentuk-bentuk Hadits
C.     Kedudukan Hadits dalam Islam
D.    Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
BAB III: PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu tentang kaedah-kaedah hukum yang dipergunakan untuk menetapkan sebuah hukum. Dalam konteks nyata, ushul fiqh seringkali digunakan untuk mencari asal atau dasar dari sebuah hukum. Karena salah satu peran dari ushul fiqh adalah untuk menetapkan sebuah hukum yang berlandaskan NAS (al-quran dan al-hadits). Di antara beberapa sumber yang menjadi acuan dalam menetapkan dasar hukum ilmu ushul fiqh adalah :
1. Al-quran      2. Al-hadits     3. Ijma’            4. Qiyas           5. Al-istishab
6. Al-maslahah mursalah         7. al-istihsan    8. al-‘uruf atau al-faratan.
Diantara 8 sumber hukum tersebut, selain (al-qur’an) yang menjadi patokan pertama untuk menetapkan sebuah hukum,  al-hadits juga berperan sebagai sumber kedua setelah al-qur’an, dengan maksud untuk memperjelas hukum dasar yang terdapat dari al-qur’an yang masih kurang jelas dan kurang terperinci dalam menetapkan hukum. Sehingga tidak lepas dari itu, ilmu hadits juga menjadi sangat penting untuk dipelajari. Sebab untuk memahami seluruh isi Al-Qur’an tentu juga harus memahami hadits sebagai sumber hukum kedua dalam Islam.
B.     Rumusan Masalah
a.       Pengertian Hadits
b.      Bentuk-bentuk Hadits
c.       Kedudukan Hadits dalam Islam
d.      Fungsi Hadits terhadap Al-qur’an
C.    Tujuan Makalah
a.       Mengetahui Pengertian Hadits
b.      Mengetahui macam–macam Hadits
c.       Mengetahui Kedudukan Hadits dalam Islam
d.      Mengetahui Fungsi Hadits terhadap Al-qur’an



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits
Menurut Ibnu Manzhur, kata hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis hadits memiliki beberapa arti kata, yaitu:
1.      Baru (jadid), lawan dari terdahulu (qadim).
2.      Dekat (qarib), lawan dari jauh (ba’id).
3.      Warta berita (khabar); sesuatu yang dipercakaakpan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lainnya.[1]
Sedangkan secara terminologis, para ulama, baik muhadditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan dari kalangan-kalangan tersebut, akan tetapi dari perbedaan itu pada esensinya adalah sama. Diantara beberapa pengertiannya adalah sebagai berikut:
1.      Ulama hadits mendifinisikan hadits sebagai berikut:
Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ikwal Nabi.
2.      Menurut istilah ahli ushul fiqh, hadits adalah:
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., selain Al-Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum Syara’.
3.      Adapun menurut istilah para fuqaha, hadits berarti:
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.
Dari beberapa pengertian hadits yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa, hadits merupakan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. selain kalamullah (Al-Qur’an), baik berupa perkataan perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
B.     Bentuk-bentuk Hadits
Secara garis besar disebutkan bahwa bentuk-bentuk hadits terbagi mejadi 5 bagian:
1.      Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengam kata lain, hadits qauli adalah hadits berupa perkataan Nabi SAW. yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.[2]
2.      Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dalam hadits tersebut terdapat berita tentang pebuatan Nabi SAW. yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusn bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.[3]
3.      Hadits taqriri adalah hadits berupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa meberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demekian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.[4]
4.      Hadits hammi adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW. yang belum terealisasikan, seperti hasrat puasa 9 asyura. “ketika Nabi SAW. berpuasa pada hari Asyura  dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: ‘Ya Rarulullah , hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani’. Nabi saw bersabda: ‘Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari kesembilan’.” ( HR. Abu Dawud)
Nabi SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena wafat sebelum sampai bulan Asyura. Menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya, bahwa menjalankan hadist hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.[5]
5.      Hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ikhwal Nabi SAW. yang tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Hadits yang termasuk kategori ini adalah hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik Nabi SAW.[6]

C.    Kedudukan Hadits dalam Islam
Secara garis besar, umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu  sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an,  yang karenanya siapapun tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimani dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.[7]
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi  bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”[8]
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam  adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ...
“Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah…”[9]
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr : 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا...
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”[10]
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia tidak cukup hanya berpanutan pada al-Qur’an dalam mengamalkan ajaran agama Islam, akan tetapi juga wajib berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW.


D.    Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Sebagaimana fungsinya, bahwa Al-Qur’an merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya terpaku menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan  banyak sekali masalah yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan. Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali solat dilaksanakan dalam sehari semalam, lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. ;orang yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan lain-lain.
Maka, disinilah fungsi hadits, yang berperan penting sebagai penafsir dan  penjelas dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting hadits terhadap Al-Qur’an, yaitu :
1.    Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 yang artinya “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”[11] dan seterusnya  (Riwayat Bukhari - Muslim).
2.    Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya.”[12] (H.R. Bukhari - Muslim).
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadist rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah al-qur`an, dan umat islam di wajibkan mengikuti sunnah sebagai mana di wajibkan mengikuti Al-qur`an dan hadis.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber syariat islam yang tetap,orang islam tidak mungkin memahami syari`at islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut yaitu al-qur`an dan hadist.


BAB III
                                                                  PENUTUP      

A.    Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) beliau. Sehingga semua yang menjadi sunnahnya menjadi sunnah juga bagi seluruh umatnya.
2.      Sama halnya dengan penjelasan diatas bahwa, hadits dalam pembentukannya terbagi menjadi 5 bagian, diantaranya: Hadits qauli, hadits fi’li, hadits taqriri, hadits hammi, dan hadits ahwali. Yang kesemuanya tidak lepas dari tingkah dan pola perilaku Nabi SAW.
3.      Sangat jelas dipaparkan, bahwa kedudukan hadits sebagai sumber hukum yang kedua dalam menetapkan permasalahan hukum sudah tidak bisa di otak-atik lagi, sebab mengingat pentinganya fungsinya sehingga dikategorikan menjadi pedoman setelah Al-Quran.
4.      Selain kedudukannya yang sangat penting dan tidak bisa di pisahkan dengan Al-Qur’an, hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas dari hukum-hukum yang masih bersifat global, sehinga tidak cukup memahami seluruh isi Al-Qur’an jika hanya berpedoman kepada Al-Qur’ann saja dengan tanpa berpedoman juga kepada hadits.








DAFTAR PUSTAKA

Mushaf Maryam. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Insan Media Pustaka.
Ranuwijaya, Utang.1996. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Saputra, Munzier. 1993. Ilmu  Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Solahuddin, Agus Suyadi. 2013. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadts. Bandung: Pustaka Setia.

                                        



[1] Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm. 13.
[2] Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm. 21.
[3] Ibid.
[4] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996) hlm. 15.
[5] Ibid. Hlm. 18
[6] Ibid.
[7]Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama,1996) hal: 19
[8]  Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, (Bandung: Pustaka Setia,2007) hal:82.
[9] Mushaf Maryam, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Insan Media Pustaka, 2012). Hlm. 91
[10] Ibid. Hlm. 549
[11] Munzier Saputra, Ilmu  Hadis,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993). hlm 50
[12] Ibid. hlm 52